Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2025, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menggagas proyek besar penulisan ulang sejarah. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengatakan proyek ini akan melibatkan 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi.
Ironisnya, penggagas penulisan sejarah ini politisi dari penguasa. Bukan usulan dari akademisi atau masyarakat. Padahal, sejarah itu sejatinya suatu narasi jujur yang independen, suatu konstruksi naratif yang dibentuk oleh siapa yang memiliki otoritas atas ingatan kolektif.
Kita masih ingat, semasa era Orde Baru, sejarah pernah ditulis dengan pemanipulasian demi melanggengkan kekuasaan melalui kurikulum pendidikan. Jatuhnya korban jiwa kejahatan HAM pun tak pernah diakui sejarah yang konon atas kepentingan maunya pemerintahan rezim Orba saat itu..
Dan, sejarah yang hadir saat ini, merupakan hasil seleksi narasi alami, dari banyak kisah, banyak cerita suka duka perjuangan dengan fakta jujur. Bukan pesanan politik! Bukan bicara tentang kisah yang berpihak pada penguasa atau politisi. Dan, penulisan ulang sejarah tentunya merupakan tindakan politik yang berdampak hukum.
Kenapa? Karena, dari tinjauan hukum tata negara, hal itu merupakan tindakan ranah kebijakan publik yang harus memastikan prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Jika itu ditadakan, maka patuut dicurigai ada motif politik dibalik penulisan ulang sejarah! Apalagi penganggasnya disinyalir politisi yang diduga tak mewakili usulan masyarakat atau akademisi, karena sejarah hingga saat ini tak dirasa ada pembelokan.
Penulisan ulang sejarah, tentu tak boleh memperkosa ingatan kolektif bangsa. Juga, tak boleh menunggangi sejarawan yang dipillih penguasa demi kepentingan syahwat politiknya. Apakah ada jaminan tim ahli sejarah dibentuk secara independent? Atau, apakah dijamin penulisnya tak diboncengi kepentingan politik? Yang pasti, perlu diwaspadai potensi abuse of narrative power.
Sejarah yang ditulis oleh para penguasa atau politisi patut dicurgiai diboncengi motif politik. Bukan tak mungkin, diduga sejarah harus dihadirkan sesuai selera ‘pemesan’.
Penulisan ulang sejarah nantinya seolah akan jadi kebenaran tunggal penguasa, apalagi bila dilabeli ‘resmi’. Soal rekayasa narasi masa lalu dengan membentuk opini publik dan mengendalikan ingatan kolektif bangsa dengan berpihak pada maunya para pemilik syahwat politik, tentunya sangat terbuka lebar. Sejarah pun nantinya bukan tak mungkin akan dijadikan pembenaran sepihak dan dijadikan dalih normatif untuk berpihak pada kekuasaan.
Sesungguhnya, sejarah itu milik publik, bukan milik penguasa, bukan harus menuruti selera politisi, bukan juga harus mengikuti apa yang dimaui rezim, dan tentu saja bukan untuk dimanipulasi. (*)
Penulis : Aktivis 98 FPPHR, Eko Okta Aryanto, SE