Ada Bau Manipulasi Fakta Menyeruak, Wakil Rakyat hingga Akademisi Tolak Tulis Ulang Sejarah!

29

Aartreya – Kehawatiran penulisan sejarah diplintir dan ditunggangi kepentingan politik diungkapkan banyak kalangan mulai dari anggota DPR, akadamisi, para pakar, hingga aktivis. Karena, potensi penulisan ulang sejarah mengulang proyek yang sama di masa Orde Baru. Berpotensi terjadi

Wakil Ketua Komisi XIII Bidang HAM DPR Andreas Hugo Pareira secara lugas mengingatkan agar penulisan sejarah bukan hanya untuk memuliakan rezim penguasa. Apalagi dengan menutupi kasus pelanggaran HAM hingga mendiskreditkan lawan politik. Menukil cnnindonesia.com, menurut dia, sejarah nasional tak bisa diklaim sebagai narasi tunggal penguasa atau yang biasa disebut history written by the winner.

"Saya kira kita jangan mengulangi sejarah penulisan sejarah Orde Baru yang ditulis hanya untuk memuliakan rejim berkuasa pada saat itu, menutupi pelanggaran HAM, mendiskreditkan/bahkan menghukum sejarah psikologi lawan politik," kata Andreas, Senin (2/6/2025).

Pernyataan itu ia sampaikan merespons rencana Kementerian Kebudayaan tak akan memasukkan daftar 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara. Proyek ini disebut hanya akan memasukkan dua kasus pelanggaran HAM berat saja.

Lebih jauh, mantan anggota Komisi bidang Pendidikan DPR itu juga mengingatkan agar proses penulisan ulang sejarah dilakukan secara terbuka. Menurut dia, proyek penulisan ulang sejarah harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Andreas mengingatkan bahwa penulisan sejarah bisa memicu perdebatan publik jika dilakukan secara tertutup dan eksklusif. Pemerintah, lanjut dia, harus membuka daftar penulis yang terlibat dalam proyek tersebut.

"Seharusnya sejarah ditulis oleh para ilmuwan Sejarah, untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang jati diri bangsa, serta prosesnya harus transparan, melalui riset akademik sehingga bisa dipertanggungjawabkan keilmiahan," katanya.

Terpisah, akademisi, ahli, aktivis, dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) bersuara keras menolak penulisan ulang sejarah secara tunggal yang tengah digarap pemerintah. Penulisan ulang sejarah itu dinilai bisa membungkam kebenaran.

Melansir tempo.co, menurut AKSI, negara tidak berhak memberi tafsir tunggal atas sejarah. AKSI juga menilai sejarah harusnya memberi ruang setara bagi mereka yang dimarjinalkan di masyarakat. Penolakan AKSI ini juga telah disampaikan saat melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025.

“Pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus diungkap kebenarannya, disuarakan, diingat; dan ‘sejarah resmi’ dapat digunakan menutupi dosa masa lalu, peristiwa yang kelam beresiko terulang kembali,” kata AKSI dalam keterangannya.

Kelompok ini mendorong supaya sejarah harus ditulis secara terbuka dan berkeadilan. AKSI mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melalui sebuah petisi yang bisa dibuka dalam tautan sebagai berikut:

https://www.amnesty.id/kerja-amnesty/kampanye/petisi-aksi/

AKSI mencakup puluhan tokoh termasuk mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Direktur Lab4 Jaleswari Primowardhani, hingga Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Mantan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Universitas Driyarkara Karlina Supelli, hingga pengajar filsafat Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya juga mendukung gerakan ini.

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak menyoroti penggunaan istilah 'sejarah resmi' dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang digarap oleh Kementerian Kebudayaan. Istilah itu berisiko diintervensi dan mengaburkan independensi akademik dalam penyusunan narasi sejarah.

"Yang paling tahu sejarah itu akademisi, dalam hal ini para sejarawan dan ilmu terkait. Jadi mengapa negara membuat ‘sejarah resmi’ yang rawan diarahkan mengikuti selera?” ujarnya.

Menurut Truman, pemerintah semestinya menyerahkan proses penulisan ulang sejarah sepenuhnya kepada organisasi profesi ilmiah, termasuk Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Ketua Pusat Prasejarah dan Studi Austronesia Indonesia ini mengatakan dukungan pemerintah seharusnya hanya sampai memfasilitasi pekerjaan penulis dan editor, seperti dalam proyek penulisan buku sejarah sebelumnya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap bahwa hanya ada dua pelanggaran HAM berat yang akan ditulis dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional. Namun, dia belum merinci dua kasus HAM yang akan masuk proyek tersebut.

Fadli beralasan keputusan hanya memasukkan dua dari 12 kasus pelanggaran HAM karena proyek tersebut bukan untuk menulis sejarah HAM. Menurut Fadli, proyek penulisan ulang sejarah memuat keseluruhan sejarah Indonesia. (*)

 

Sumber : cnnindonesia/com/tempo.co

SHARE

KOMENTAR