Merawat Kewarasan Sejarah Reformasi, Menolak Soeharto Pahlawan Nasional

137

PADA 21 MEI INI, merupakan momentum pengingat lahirnya Reformasi. Suatu babak baru peralihan dari Orde Baru ke Reformasi, disertai lengsernya Soeharto. Sebelumnya, didahului dengan gerakan mahasiswa serentak secara maraton turun ke jalan di sejumlah daerah di Indonesia.

Diantaranya, Jakarta, Medan, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Depok hingga Kota Bogor. Tuntutan utama aksi demonstrasi di banyak daerah pada 1998 yakni Adili Soeharto dan kroninya hingga gulingkan Orde Baru.   

Belakangan, nama Soeharto diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah. Sementara, masih segar di ingatan publik, bahwa ada banyak dosa besar yang dilakukan Soeharto. Yakni diantaranya dugaan memanipulasi Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memulihkan keamanan dan ketertiban negara.

Namun, hingga saat ini, versi asli Supersemar tak pernah ditemukan, sehingga isi dan legalitasnya menjadi misteri. Tak hanya itu, Supersemar dikeluarkan diduga kuat di bawah tekanan militer terhadap Soekarno. Juga, diduga keras, terjadi penyalahgunaan kekuasaan bahwa Supersemar dijadikan alat legitimasi Soeharto untuk merebut kekuasaan secara tidak sah.         

Lebih dari itu, selama 32 tahun Soeharto berkuasa melebihi raja. Pada masa berkuasanya, Soeharto menjadikan Indonesia HAM paling buruk di dunia hingga terjadinya praktik KKN yang jadi budaya.   

Sebelum lengsernya Soeharto, ada peristiwa besar banyak darah anak bangsa tumpah pada 1998. Mengutip kompas.com, jelang Soeharto turun tahta mengakhiri Orde Baru diawali tragedi pilu, mulai aksi demonstrasi hingga kriminalitas. Akibat dari rentetan aksi dalam upaya reformasi, sebanyak 1.190 nyawa melayang, 53 perempuan dilecehkan, pembakaran serta penjarahan toko, dan terjadinya berbagai kejadian pilu lainnya.

Termasuk diantaranya aksi penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap empat mahasiswa Trisakti dalam aksi demonstrasi pada 12 Mei 1998. Dan, kerusuhan Mei 1998 kekerasan seksual yang menyasar para perempuan Tionghoa di Jakarta. Tindakan kekerasan seksual ini tak sekedar verbal, melainkan upaya pemerkosaan massal terhadap para perempuan berdarah Tionghoa dan berdampak korban mengalami trauma hebat. 

Publik Tanah Air harus disegarkan ingatannya saat terjadi peralihan rezim dari Soeharto kepada Habibie dan kemudian selanjutnya, muncul TAP MPR nomor 11 Tahun 1998 yang menegaskan bahwa untuk menegakkan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta harus ada pengusutan korupsi yang melibatkan pejabat maupun mantan pejabat, termasuk di dalamnya adalah Soeharto.

Lebih dari itu, diketahui tejadi  korupsi Yayasan Supersemar yang mencapai sekitar Rp 3 triliun. Di era Soeharto, ada banyak kasus berkaitan dengan sejumlah yayasan yang didirikannya. Dulu, lewat Peraturan Presiden No. 17 Tahun 1976, Soeharto menekankan bahwa 5% sisa laba bersih milik bank pemerintah harus disumbangkan ke yayasan-yayasannya, seperti Supersemar, Dharmais, dan Dana Abadi Karya.

Nah, artinya, jika Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional, sejarah berpotensi bisa diputarbalikan seolah anak bangsa, saat itu para Aktivis mahasiswa yang turun ke jalan mendesak lahirnya Reformasi terkesan bersalah. Kenapa? Karena, yang dilengserkan merupakan Pahlawan Nasional. Yang pasti, fakta bicara jujur. Ada banyak dosa sejarah yang dilakukan Soeharto. Dan, kelahiran Reformasi, bukan musuh Pahlawan Nasional. Jadi, tak pantas Soeharto di-pahlawan nasional-kan. Karena, syarat umum Pahlawan Nasional yakni diantaranya memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, hingga berkelakuan baik. (*)

 

Penulis : Aktivis 98, FPPHR, Eko Okta Aryanto, SE   

 

SHARE

KOMENTAR