Usulan Pahlawan Nasional kepada Soeharto Kembali Tuai Penolakan

92
Presiden RI ke-2 Soeharto kembali diusulkan jadi pahlawan nasional, foto istimewa

Aartreya  - Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto ditolak Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi. Secara yuridis, ia menilai, Soeharto tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Menukil Times Indonesia, Hendardi merujuk pada syarat umum yang tercantum dalam Pasal 24 UU tersebut, yang mengatur bahwa untuk mendapatkan gelar pahlawan, seseorang harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain memiliki integritas moral, berjasa terhadap bangsa, berkelakuan baik, dan tidak pernah dipidana.

Menurut Hendardi, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahannya, yang hingga kini belum pernah diuji di pengadilan.

"Belum lagi soal Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga dan elite di sekitarnya, yang menjadi alasan utama Soeharto dilengserkan pada 1998. Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik," ujar Hendardi, Kamis (24/4/2025).

Hendardi juga menyoroti masalah sosial-politik yang ditimbulkan oleh pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Ia menyebutkan bahwa hal ini akan menjadi simbol kebangkitan Orde Baru atau Kebangkitan Cendana, serta mendeligitimasi gerakan Reformasi 1998 yang berjuang melawan otoritarianisme dan menegakkan supremasi sipil.

"Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional hanya akan menciptakan kontradiksi dan kebingungan pada generasi muda yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan Pemerintahan Orde Baru," tambahnya.

Hendardi menegaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto justru dapat menghapus sejarah kelam pemerintahan Orde Baru dan menciptakan kebingungan kolektif tentang sosok yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan, namun pada saat yang sama dihormati dengan gelar pahlawan.

Wacana pemerintah untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto kembali memicu gelombang protes dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sementara itu, penolakan juga disuarakan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menegaskan, rencana penganugerahan gelar pahlawan itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap memori para korban dan upaya pemutihan kejahatan masa lalu.

Mengutip KBR, Anggota Gemas sekaligus Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina dengan gamblang mengungkap betapa kelamnya catatan HAM di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun.

"Berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di pemerintahan presiden Soeharto juga banyak sekali rentetannya, kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai eksploitasi SDA yang terjadi di Papua, di Aceh misalkan saat penetapan Daerah Operasi Militer Aceh," ungkap Jane kepada KBR, Kamis, (17/4/2025) malam.

Jane juga mengingatkan publik pada pembantaian massal di Santa Cruz, Timor Leste, serta berbagai kasus perampasan tanah rakyat dan penghancuran lingkungan.

Apalagi, Jane menyebut Komnas HAM telah menetapkan adanya sembilan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Soeharto, termasuk tragedi 1965/66, penembakan misterius (Petrus), Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Rumah Gedong dan Pos Satis, penghilangan orang secara paksa, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, dan pembunuhan dukun santet.

"Kalau misalkan kita lihat dari rentetan banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia maupun pelanggaran berat hak asasi manusia, tentu sudah dapat dipastikan bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar pahlawan nasional kalau melihat rekam jejak buruk dan berdarahnya gitu," tegas Jane.

Jane kemudian merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang secara eksplisit menyebutkan asas-asas pemberian gelar, termasuk kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan. Ia mempertanyakan apakah rekam jejak Soeharto mencerminkan asas-asas tersebut.

"Kalau misalkan dibedah di penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, yang dimaksud sebagai asas kemanusiaan adalah harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan adil dan beradab, kerakyatan adalah harus mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan demokrasi dan permusyawaratan perwakilan, dan asas keadilan adalah harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali," jelas Jane.

Lebih jauh, Jane menyinggung catatan buruk Soeharto dalam hal korupsi.

"Kemudian pada isu korupsi, kolusi dan nepotisme pada September 98, Kejaksaan Agung juga menemukan indikasi penyimpangan dana dari yayasan-yayasan yang setidaknya terdapat 7 yayasan yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung saat itu," ungkap Jane.

"Kemudian juga Soeharto telah ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus penyalahgunaan dana atas Yayasan sosial yang didirikannya Pada 31 Maret tahun 2000, dan ditetapkan sebagai terdakwa pada 3 Agustus tahun 2000 akan tetapi proses hukum tersebut tidak dilanjutkan dan dihentikan oleh Kejaksaan Agung karena sakit yang dialami oleh Soeharto membuatnya tidak bisa diadili," sambungnya.

Jane juga merujuk pada laporan PBB (UNODC) dan Bank Dunia tahun 2007 yang menyeret nama Soeharto.

"Belum lagi juga kita melihat kantor PBB bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan stolon aset recovery atau StAR pada tahun 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin korup. Bagaimana bisa seseorang dengan rekam jejak seperti itu diberikan gelar pahlawan oleh negara kita sendiri?" imbuh Jane.

Sebagai informasi, sejumlah tokoh, termasuk Soeharto, diusulkan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Selain Soeharto, ada nama-nama lain seperti Abdurrahman Wahid, Bisri Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, dan Abbas Abdul Jamil. Empat nama baru yang diusulkan tahun ini antara lain Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, dan Yusuf Hasim.(*)

 

Sumber : times.co/kbr.id

SHARE

KOMENTAR