Aartreya - Klaim Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut bahwa kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 hanya rumor dan tidak ada bukti membuat kalangan Aktivis 98 meradang. Mereka menuding Fadli Zon sudah berdusta dan diduga ada motif ingin ‘membelokan sejarah’ demi kepentingan politik golongan dan ‘sang bos’.
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara, Fadli Zon mengeklaim "tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal", dalam peristiwa tersebut. Dia juga mengklaim bahwa informasi tersebut hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.
“Ada ungkapan sejarah selalu berpihak pada penguasa. Tapi, setidaknya jangan juga sejarah dikaburkan. Jangan juga rakyat disesatkan informasi. Karena, sejarah harus bicara jujur, harus bicara fakta. Sebagaimana yang disampaikan Bung Karno, jas merah. Jangam sekali-kali melupakan sejarah,” kata Aktivis Pena 98, Teddy Risandi melalui sambungan telepon, Sabtu (14/6/2025).
Ia berujar, adalah bohong jika korban peristiwa 98 mulai perkosaan hingga pembunuhan disebut Fadli Zon tidak ada. Menurutnya, perkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 adalah sebuah tragedi yang menjadi catatan kelam dalam penanganan kasus perkosaan di Indonesia.
Pada kerusuhan yang terjadi 24 tahun silam, terjadi perkosaan massal di beberapa titik wilayah yang korbannya sebagian besar adalah para perempuan etnis Tionghoa. Tim Relawan kasus Mei 1998 mencatat setidaknya ada 150 perempuan etnis Tionghoa yang mengalami perkosaan.
“Hasil investigasi TGPF (Hasil Gabungan Pencari Fakta) menemukan bahwa perkosaan yang terjadi pada Mei 1998 adalah bentuk teror yang dilakukan secara luas, masif, dan sistematis. Saat ini, saksi mata kerusuhan 1998 masih ada,” ucapnya.
“Selain itu, di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur yang kerap digelar tabur bunga saat mempringati peristiwa Reformasi 98, disana dimakamkan korban peristiwa 1998. Bahkan, para aktivis dan keluarga korban kerap berziarah di TPU Pondok Ranggon untuk mengenang dan mendoakan para korban,” tutur Teddy.
Pada bagian lain, advokat pendiri LBH Ampera yang kerap mengadvokasi petani, kaum miskin kota hingga aktivis pada era 90 an hingga 98, Maradang Hasoloan Sinaga bereaksi keras. Ia marah dengan pernyataan Fadli Zon yang disebutnya sudah menebar kebohongan.
“Menteri Kebudayaan Fadli Zon melontarkan pernyataan tidak ada korban pada peristiwa 98, itu jelas berbohong. Berdusta. Kuat dugaan beraroma penipuan publik! Saya menduga keinginannya membuat penulisan ulang sejarah bertujuan hanya untuk membelokan sejarah. Menghapus dosa bosnya! Membersihkan para bandit HAM yang seolah akan dibuat tak berdosa dengan masa lalu. Ini jelas tidak benar!,” tandas Maradang Hasoloan Sinaga.
Dia meneruskan, semestinya para aktivis 98 yang berakini menjabat di kabinet hingga komisaris BUMN bersuara.
“Seharusnya para aktivis 98 yang saat ini di kabinet hingga menjabat komisaris BUMN bersuara. Jika mereka (aktivis 98 pro penguasa) membenarkan pernyataan Fadli Zon artinya mereka kini sudah berpaham ABS (Asal Bapak Senang). Peristiwa tragedy 98 jelas ada darah, pemerkosaan dan korban jiwa. Lalu, para korban itu mau dihilangkan dengan pembelokan sejarah? Wah sakit ini kalau begini!,” ucap advokat yang tergabung sebagai aktivis Front Pemuda Penegak Hak Rakyat (FPPHR).
Pernyataan keraaas juga dilontarkan Aktivis Barikade 98, Mulyadi atau Kimung. Dia secara terang-terangan mengendus ada motif politik Fadli Zon untuk menyelamatkan sang bos terbebas dari peristiwa tragedy 98 yang terjadi di masa lalu.
“Sejarah jangan diputarbalikan! Tragedi 98 itu ada banyak jiwa kematian, pemerkosaan dan meninggalkan luka dalam anak bangsa. Jika Fadli Zon membantah peristiwa sejarah dan menyebut tak ada korban jiwa, lalu kenapa ada terduga penjahat HAM berseragam saat dibawa ke Mahkamah Militer sebagai aktor intelektual dari kasus penculikan para aktivis pada 1998?,” ujar Kimung.
Dia meneruskan, dulu di bawah kepemimpinan Jenderal Wiranto pernah dibentuk DKP (Dewan Kehormatan Perwira) untuk menangani kasus hilangnya sejumlah aktivis politik yang dikaitkan dengan anggota berseragam dan pimpinannya.
“DKP dibentuk pada Juli 1998 dan menggelar sidang pada bulan Agustus dilakukan pemeriksaan pada terduga pelaku yang saat itu DKP yang diketuai Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo dengan menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian. Pertanyaannya, jika tidak terjadi korban tragedy 1998 pada rakyat di Jakarta, lalu kenapa ada sidang DKP dan Mahmil? Peristiwa bersejarah ini jelas fakta bantahan pernyataan Fadli Zon yang telah sampaikan pernyataan dusta!,” tuntasnya.
Sebagai informasi, dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya. Peristiwa itu, menurut dia, hanya berdasarkan rumor yang beredar.
"Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," kata Fadli Zon.
Ketika ditanya soal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap kesaksian dan bukti yang menunjukkan para perempuan menjadi target perkosaan, Fadli Zon mengeklaim "pernah membantah" dan "mereka tak bisa bisa buktikan".
Adapun saat ini pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan, tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Fadli Zon kemudian melanjutkan dengan mengatakan buku sejarah yang sedang dibuat oleh pemerintah saat ini diharapkan "bisa mempersatukan bangsa".
Dalam draf Kerangka Konsep Penulisan "Sejarah Indonesia" yang dikutip dari BBC News Indonesia, sejumlah pelanggaran HAM berat ternyata tidak dimasukkan dalam proyek ini, antara lain : pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, hingga kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua. (Eko Okta)