THR yang Selalu Dirindu Jelang Lebaran, ini Sejarahnya Gaes!

91
Ilustrasi

Aartreya – Idul Fitri tinggal hitungan hari akan hadir. Aromanya kini sudah sangat mendekat di penghujung Ramadan. Tunjangan Hari Raya (THR) pun dirindukan banyak orang. Tahukah Anda, THR sudah jadi tradisi sejak era Pemerintahan Presiden Soekarno jelang Hari Raya Idul Fitri, tepatnya era Perdana Menteri Keenam Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo yang juga terafiliasi dari Partai Masyumi.

Pada tahun 1951, salah satu program kerja Kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan Pamong Praja (saat ini Pegawai Negeri Sipil), sehingga awal mulanya upah tambahan atau tunjangan menjelang hari raya ini hanya diperuntukkan kepada Pamong Praja saja.       

Melansir situs Indonesia Baik dan LIPI, THR adalah hak pendapatan bagi pekerja yang wajib diberikan oleh pemberi kerja menjelang hari raya keagamaan sesuai peraturannya.

Nah, berikut sejarah tradisi pemberian THR :

Tahun 1951

Perdana Menteri Soekiman memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (sekarang PNS) berupa uang persekot (pinjaman awal) dengan tujuan agar dapat mendorong kesejahteraan lebih cepat. Uang persekot akan dikembalikan ke negara dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.

Tahun 1952

Pada 13 Februari 1952, kaum pekerja/buruh protes karena THR yang hanya diberikan kepada para Pamong Pradja (PNS). Kaum pekerja/buruh protes dan menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan yang sama seperti pekerja Pamong Pradja (PNS).

Tahun 1954

Perjuangan tersebut berbuah hasil, Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran. Hal ini bertujuan menghimbau setiap perusahaan untuk memberikan "Hadiah Lebaran" untuk para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah.

Tahun 1961

Surat edaran yang semula bersifat himbauan itu kemudian berubah menjadi peraturan menteri. Peraturan ini mewajibkan perusahaan untuk memberikan "Hadiah Lebaran" kepada pekerja yang minimal telah 3 bulan bekerja.

Tahun 1994

Selanjutnya, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan menteri. Peraturan ini mengubah istilah "Hadiah Lebaran" menjadi "Tunjangan Hari Raya" atau THR yang kita kenal sampai sekarang.

Tahun 2016

Aturan pemberian THR direvisi melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Kini aturan pemberian THR diberikan kepada pekerja dengan minimal 1 bulan kerja yang dihitung secara proporsional.

Menurut PerMenaker No. 6 Tahun 2016, THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.

Mengutip situs Kemnaker, THR Keagamaan dibayarkan sesuai hari raya keagamaan pekerja/buruh, kecuali ditentukan lain dalam aturan perusahaan. THR Keagamaan wajib diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Menurut aturan, yang berhak menerima THR sebagai berikut:

Pekerja/buruh yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih.

Pekerja/buruh PKWTT yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) terhitung H-30 hari sebelum hari raya keagamaan.

Pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut.

Merujuk pada aturan tersebut berikut rinciannya:

  1. Satu bulan upah. Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih.
  2. Proporsional. Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan.
  3. Perhitungan upah sebulan. Pemberian upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages), atau pemberian upah pokok termasuk tunjangan tetap.
  4. Sesuai ketetapan perusahaan. Jika THR yang ditetapkan perusahaan besarannya lebih tinggi dibanding besaran THR yang diatur pemerintah.

(Sumber : indonesiabaik/LIPI/detik.com/nesto)

SHARE

KOMENTAR