Ungkapan yang dipopulerkan Megawati Soekanoputri untuk selalu menangis, berjuang dan tertawa bersama rakyat boleh dibilang dekat dengan keseharian kader PDI Perjuangan Kota Bogor yang memiliki nama lengkap Dede Wahyuningsih.  Melalui tangan dinginnya, wanita yang juga Ketua Seknas Jokowi Kota Bogor ini sudah membuktikan diri ‘setia mencium keringat rakyat’ dengan mewakafkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melayani masyarakat.
Hampir setiap hari, ‘buku harian’ Dede dipenuhi dengan permintaan pendampingan kesehatan hingga pendidikan dari warga masyarakat tak mampu.  Kegiatan yang sudah dilakoninya selama sepuluh tahun terakhir ini menurutnya sudah menjadi jalan takdir.
“Meski terkadang saya harus menunda persoalan pribadi atau keluarga, jika diminta warga yang sampaikan keluhan soal pendampingan kesehatan, pendidikan atau persoalan sosial lainnya, saya memilih membantu. Saya sangat menikmati rutinitas kesehariannya, dan mencintai. Jadi, saya beranggapan seolah ini jalan takdir saya,†kata Dede kepada media online ini, Selasa (23/11/2021).
Soal suka duka, kerap dialaminya. Namun, karena sudah melewati waktu panjang berinteraksi membantu warga, ia pun menjadi terbiasa.
“Sebagai penggiat social, sukacitanya, saya merasa bahagia saat warga yang didampingi bisa lancar urusannya. Dan, semua yang saya lakukan, merupakan pengabdian, secara cuma-uma. Mungkin bahasa indahnya, senyum mereka merupakan kado terindah. Dukanya, terkadang kerap ada penilaian miring, tapi buat saya, biarkan saja. Enggak perlu dipikirin,†tuturnya.
Dede berujar, ada dua tokoh yang menjadi idolanya yakni Jokowi dan Megawati.
“Keduanya adalah sosok inspirasi bagi saya. Keduanya, sudah menjadi tauladan, berbuat dan melayani yang banyak, tak harus pamrih. Dan, keduanya, baik Pak Jokowi atau Ibu Mega, merupakan representasi perjuangan wong cilik,†imbuhnya.
Meski wanita, Dede akan bereaksi jika sosok idolanya disasar fitnah oleh para haters.
“Yang saya sampaikan tak sekedar beragumentasi buta. Sebab, yang saya perhatikan, dalam dunia politik, niat baik atau perbuatan baik kerap kali tak disukai oleh para pembenci. Jika kritik itu konstruktif atau sehat, saya menerima sebagai seorang pengusung demokrasi. Tapi, jika dialamatkan hoax atau fitnah kepada Pak Jokowi atau Bu Mega, menurut saya, itu pendidikan politik tak baik dan tak sehat. Idealnya, mari kita indahkan iklim demokrasi dengan perbedaan apapun, termasuk kritik yang membawa unsur sehat, edukatif  dengan saling menguatkan sebagai sesame anak bangsa,†tuntasnya diplomatis. (Nesto)Â