Hari Pers Nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Februari. Sejarah perjalanan Pers di Indonesia sudah hadir sejak pra kemerdekaan. Dikutip dari republika.co.id, pada pertengahan abad ke 18, Belanda menggunakan media cetak untuk kepentingan iklan produk-produk dari perusahaan Belanda kepada orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Bataviase Nouvelles, yang terbit pada 8 Agustus 1744 hingga 20 Juni 1746.
Lalu, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan surat kabarnya sendiri dengan nama Bataviasche Koloniale Courant. Koran ini hanya bertahan selama satu tahun. Media ini terbit perdana pada 15 Januari 1810 dan berakhir pada 18 Januari 1811.
Setelah itu, Bataviasche Courant kembali hidup pada 20 Agustus 1816 digantikan dengan Goverment Gazatte, yang kembali berubah nama menjadi Javasche Courant pada 1828. Pada 25 Januari 1855, di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa krama inggil, bernama Bromartani. Sementara surat kabar berbahasa Melayu terbit pertama kali pada 1856 bernama Selompret Melajoe yang diterbitkan oleh E Fuhri.
Kemudian pada 1885 terbitlah surat kabar Retno Dhoemillah yang dipimpin oleh dr Wahidin Soedirohusodo. Sejak saat itu, Pers telah digunakan para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Dilansir dari today.line.me, masih pada tahun 1885, selain surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda, telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melajoe, Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan
Dengan adanya surat kabar, beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia mulai memanfaatkan pers sebagai alat perjuangan. Namun, hal ini dihambat oleh pemerintah Belanda dengan membuat UU untuk membendung pengaruh pers di Indonesia. Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang berisi pasal-pasal ancaman hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Belanda, sekutu, atau kelompok penduduk Belanda.
Memasuki era pendudukan Jepang, surat kabar yang beredar di Indonesia pelan-pelan mulai diambil alih. Salah satunya adalah dengan menyatukan beberapa surat kabar untuk mempermudah dan memperketat pengawasan pemerintah Jepang terhadap isi surat kabar. Konten surat kabar pun kemudian dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang. Di masa penjajahan Jepang, pers Indonesia sama sekali tidak memiliki ruang kebebasan.
Salah satu surat kabar yang diizinkan terbit pada masa itu adalah Tjahaja. Surat kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan diterbitkan di Bandung. Kantor berita Tjahaja dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata, R. Bratanata, dan Mohamad Kurdi. Meskipun terbit dan beredar di Indonesia, surat kabar ini memberitakan segala kondisi yang terjadi di Jepang.
Ketika pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan pemerintah, Indonesia juga melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Edi Soeradi, seorang tokoh pers yang menerbitkan surat kabar Berita Indonesia, melakukan propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno. Beberapa surat kabar yang digunakan sebagai alat perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat, Soeara Indonesia, Pedoman Harianyang kemudian berubah nama menjadi Soeara Merdeka(Bandung), Kedaulatan Rakyat(Bukittinggi), Demokrasi (Padang), dan Oetoesan Soematra(Padang).
Pers pada masa Orde Lama merupakan suatu masa di mana pers di Indonesia mengalami kebebasan yang begitu besar. Setiap orang yang memiliki modal dapat memiliki sebuah surat kabar sehingga bebas untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan. Pers pada masa ini umumnya mewakili aliran-aliran politik.
Memasuki masa Orde Baru, lahirlah istilah Pers Pancasila, atau pers yang sehat, pers yang bebas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, serta sebagai penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Namun, masa kebebasan ini hanya berlangsung selama delapan tahun dan semenjak terjadinya peristiwa malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974. Dengan peristiwa malari serta beberapa peristiwa lain, beberapa surat kabar seperti Kompas, Harian Indonesia Raya, dan Majalah Tempo dilarang terbit karena pers lagi-lagi dibayangi oleh kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerinta. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara.
Pada Era Reformasi, merupakan masa pencerahan terhadap kebebasan pers setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden. Banyak media massa yang muncul dan PWI bukan lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kalangan pers kembali bernafas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (pasal 4 ayat 1) dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). (Sumber : republika.co.id/ today.line.me)