Perayaan Imlek, Era Soeharto Dilarang, Era Gus Dur dan Megawati Diperbolehkan

1163
Gus Dur dan Megawati

Perayaan Imlek di Indonesia adalah salah satu bentuk kebebasan. Di era kekinian, setiap etnis China di Nusantara berhak merayakan Imlek dengan semarak dan penuh suka cita. Dulu kala, Imlek sempat dilarang di muka umum. Soeharto jadi aktor di balik pelarangan Imlek pada 1967.

Dilansir dari voi.id, Soeharto saat itu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat China hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup.

Alhasil, misal seorang China tinggal di Jakarta, maka mereka harus mampu membiasakan diri menjadi orang Betawi. Dikutip dari Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), keputusan itu dinilai masih cukup baik. Sebab, awalnya Soeharto justru ingin melarang hal berbau China secara total. Niat itu pun urung.

Atas instruksi itu, seluruh perayaan tradisi keagamaan etnis Tionghoa, termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Dimikian pula dengan tarian-tarian barongsai (tarian singa) dan lang-liong (tarian naga) dilarang dipertunjukkan. Bahkan pelarangan juga menyangkut pemakaian aksara China, hingga lagu-lagu berbahasa Mandarin ikut lenyap dari siaran radio.

“Dengan demikian ethnic cleansing atas Tionghoa tidak hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga pemusnahan segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya,” tulis Tomy Su dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Pasang Surut Tahun Baru Imlek (2005).

Untuk itu, selama bertahun-tahun, minoritas China begitu merana. Imbasnya, instruksi juga mulai mengganti sebutan “Tionghoa” dan mulai kembali berganti “Cina.” Boleh jadi rezim Orba beranggapan semua kebijakan demi proses asimilasi etnis. Namun, pada pelaksanaannya kebijakan itu terlihat ingin menghapus golongan etnis China sebagai golongan kebudayaan yang berciri khas.

“Bahasa, aksara, kesenian, busana Cina dilarang atau minimal tidak diperbolehkan. Meski ada kekecualian yang tidak dilarang, misalnya makanan, cerita, dan film silat Cina. Di masa Orba, perayaan hari raya Imlek praktis dilarang atau minimal tidak dibenarkan, meski diam-diam secara internal masih dirayakan di kalangan warga keturunan Cina,” tulis Jaya Suprana dalam buku Bercak-Bercak Harapan (2018).

Menurut Prof. Arief Budiman, dinukil dari republika.co.id, pangkal peraturan tersebut adalah persaingan antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, PKI berhubungan erat dengan Republik Rakyat Cina. Berdasarkan hal itu, Pemerintahan Orde Baru mengidentikkan komunis dengan Cina.

Perizinan kembali perayaan Imlek diterapkan saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat. Pada tanggal 17 Januari 2000, dia mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyakat Tionghoa dapat kembali merayakan adat istiadatnya.

Barulah pada tahun 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat dikeluarkan Keppres No.19/2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Di Keppres tersebut, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. (Sumber : voi.id/republika.co.id)

SHARE

KOMENTAR