Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Bagian 1)

715
ilustrasi

Kepatuhan pejabat dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara, merupakan kunci berhasilnya penegakan hukum adminintrasi karena putusan pengadilan tata usaha negara tidak bisa dilaksanakan dengan paksaan melalui alat–alat negara seperti polisi, jaksa, juru sita dan sebagainya. Berikut tulisan Agus Surachman saat menempuh program doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, memenuhi tugas Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.MH. 

Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia dirasakan masih belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan.Masih ada putusan pengadilan tata usaha negara yang tidak dipatuhi atau tidak dilaksanakan oleh pejabat pemerintah, hal ini menyebabkan masyarakat pesimis terhadap eksistensi lembaga pengadilan. Masalah eksekusi adalah menyangkut harapan pencari keadilan, tujuan pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan perkaranya ke pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara  mereka secara tuntas  akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dengan kata lain pencari keadilan  mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan, pemullihan itu akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan.

Belum optimalnya fungsi kontrol (judicial control) peradilan tata usaha negara terhadap tugas dan wewenang pemerintah dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum administrasi oleh pengadilan tata usaha negara Indonesia.Adanya pejabat Hukum yang enggan dan menganggap enteng Putusan pengadilan tata usaha negara merupakan salah satu penyebabnya.

Dalam penelitian ini, metode yang dipakai adalah metode penelitian hukum doctrinal.Mengenai data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Dari bahan-bahan yang sudah ada kemudian dianalisis secara deskriptif, komparatif, kualitaif, kemudian dideduksi untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

Compliance officials of the state administration in the implementation of the verdict  of the administrative court is the key to the success of administrave law enforcement because administrative court  verdict can not be implemented by force, by means of tools of the state, such as police, prosecutors and bailliffs. The Existence of Administrtative Court of Administrative court in Indonesia to be not yet fully meet  the expectations of people seeking justice. There are stil Adminustration court  verdict  that is not adhered to or implemented  by government officials , this cause people pessimistic  about the existence of andiministratve courts.. Problems execution is related to expectations seekers of justice, the parties' conflicting parties mrnyerahkan case to the courts is to resolve the matter completely, with the court ruling does not mean the already

completed the basic problems without delay, but the case was considered complete when there is execution in other words, those seeking justice when the execution can be carried out in practice. The presence of officials of the State Administration did not implement the decision of the administrative court is one of the causes have not been maximal judicial control of the duties and authority of the government. In this study, the method used is the doctrinal legal research methodsusing  secondary data consisting of primary legal materials, secondary and tertiary researches descriptive further deduced to adress the  problem study.

Sebagai latar Belakang pemikiran, Indonesia menempatkan pengadilan tata usaha Negara sebagai lembaga control atau judicial control terhadap tindakan pemerintah agar dalam menjalankan pemerintahan para pejabat eksekutuif tidak mengeluarkan kebijakan yang sewenang-wenang terhadap masyarakat sehinggga masyarakat dirugikan, menurut Indroharto, 

“ Dalam percakapan sehari-hari kata pemerintah itu sering dinamakan kekuasaan eksekutif. Artinya bagian dari keseluruhan kekuasaan funsi-fungsi penguasa yang bukan merupakan kekuasaan dan fungsi-fungsi legislative (pembuatan peraturan atau UU) serta mengadili.Sebenarnya istilah eksekutif yang berasal dari ajaran trias politika itu tidak tepat lagi digunakan, karena dalam keadaan senyatanya penyelenggaraan urusan pemerintahan itu tidak dapat lagi dikotak-kotakan dalam kekuasaan-kekuasaan yang terpisah satu dengan yang lain dan urusan pemerintahan dalam jaman sekarang ini bukan lagi terbatas pada eksekusi (pelaksanaan) ketentuan – ketentuan undang-undang saja “.

Beberapa contoh, yang bias dikemukakan sebagai berikut :

-              Fungsi-fungsi legislatif yang dilaksanakan oleh Pemerintah, seperti pembuatan PERPU serta Peraturan Pemerintah dan berbagai Peraturan Menteri dll.

-              Sebaliknya fungsi yang tidak murni pembuatan peraturan (legislative) seperti pengusulan pengangkatan Pejabat-pejabat Negara umpama para anggota BPK dan Mahkamah Agung dalamkenyataannya dilakukan oleh DPR.

-              Ada beberapa macam perselisihan tertentu, seperti penyelesaian perselisihan perburuhan yang lebih dekat dengan fungsi mengadili  dilaksanakan P 4 D dan P 4 P  yang merupakan Badan TUN yang berada dilingkungan Pemerintah demikian pula dengan perselisihan perpajakan yang dilaksanakan oleh Majelis pertimbangan pajak yang tidak masuk dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman.

-              Masalah pengangkatan wali bagi seorang anak, izin perubahan nama keluarga  dalam praktek dilakukan oleh peradilan.

Selanjutnya, Indroharto mengatakan :

“ jadi dengan kata lain hukum TUN atau Hukum Administrasi itu pada dasarnya juga meliputi peraturan-perturan hukum tentang pelaksanaan wewenang urusan pemerintahan (fungsi) yang dilakukan oleh para badan dan Pejabat TUN, khususnya sepanjang mengenai diciptakan atau dilahirkannya, diubah atau menghapuskannya hubungan-hubungan hukum antara Pemerintah (dalam hal ini para badan atau Pejabat TUN) dengn warga masyarakat“.

Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Judcial Control terhadap Pemerintah memang diperlukan untuk menjaga hak-hak masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang mungkin dilakukan oleh pemerintah, seperti dikemukakan oleh Umar Dani :

“  Sebagai Negara yang menganut tradisi civil law dengan konsepsi rechtstaat. Indonesia menempatkan pengadilan tata usaha Negara sebagai lembaga control terhadap tindakan pemerintah. Untuk memaksimalkan sistem control /pengawasan ini dilakukan penguatan baik secara kelembagaan maupun kewenangan. Pengadilan tata usaha Negara semula hanya dibentuk di wilayah propinsi tertentu, seiring upaya untuk mengintensifkan  peranan pengadilan tata usaha Negara dalam rangka control terhadap keputusan pejabat pemerintah baik pemerintah pusat terutama pemerintah daerah, pengadilan tata usaha Negara dibentuk hampir disetiap propinsi. Tujuannya adalah mempermudah pencari keadian mangajukan tuntutan gugatan.Sehingga asas peradilan cepat, Murah dan biaya ringan terpenuhi “.

Pertanyaannya, apakah control judicial yang dilakukan oleh pengadilan tata usaha Negara ini sudah berjalan efektif sesuai dengan yang diinginkan ?

Bedner dalam  penelitiannya mengatakan :

“ Sampai sekarang belum ada studi mengenai pelaksanaan putusan PTUN yang meliputi seluruh PTUN di Indonesia, tetapi ada dua studi akademisi yang memandang masalah ini untuk PTUN Bandung maupun Medan. Menurut desertasi Supandi, mantan ketua PTUN Jakarta, 70 persen pejabat tidak mematuhi putusan PTUN Medan, angka ini memang mencemaskan. studi yang lebih dalam adalah desertasi hakim Fchrudin yang antara lain meneliti mengenai pelaksanaan PTUN Bandung (Fachrudin 2004). Data Fachrudin meliputi putusan final yang memenangkan penggugat tahun 1995-1999, yang 25 diantaranya layak untuk dieksekusi. Dari 25 putusan itu 8 yang memang langsung dilaksanakan, 4 pelaksanaannya ditunda dan 13 pelaksanaannya ditolak oleh pejabat yang terlibat, jadi yangdilaksanakan 32 %, yang cukup mirip angka Supandi, jika dilihat begitu saja kesimpulan mengenai efektifitas  PTUN akan sangat negatif “.

Menjawab Kegelisahan masyarakat tentang eksistensi pengadilan tata usaha Negara, pada tanggal 17 Oktober 2014 telah disahkan Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ini merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum Administrasi Negara di Indonesia.Undang-undang Ini secara tegas mewajibkan pejabat pemerintah melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara dan menggolongkan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakannya mendapat sanksi administratif.

Perumusan masalah

Menyikapi hal tersebut, penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :

1.            Mengapa para pejabat TUN enggan melaksanakan Putusan Peradilan TUN.

2.            Bagaimana membangun Budaya Hukum Pejabat TUN yang Taat dan Patuh terhadap putusan PTUN.

Metode Penelitian

Adapun methode yang dipakai adalah method penelitian hukum doctrinal. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer,  sekunder dan tersier, kemudian dianalisis secara deskriptif, komparatif dan kualitatif kemudian dideduksi untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

Kerangka Teoritis dan Konseptual

1.            Kerangka Teoritis

a.            Konsep Negara hukumNegara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tatanan kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta  tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Menururut Satjipto Rahardjo :

“Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas system hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara system hukum dengan system social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu proses, penegakan hukum, padahakikatnya merupakan variable yang mempunyai korelasidan interdependensi dengan factor-faktor yang lain”.

Masalah Budaya masyarakat, struktur dan substansi hukum merupakan tiga hal yang satu sama lain saling terkait agar hukum bisa ditegakan. Menurut Lawrence M Friedmen:

“ A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact “.

Ketiga komponen tersebut, merupakan ruang lingkup bekerjanya suatu sistem. Kegagalan dalam satu komponen akan mengakibatkan sistem hukum itu tidak akan berjalanseperti yang diharapkan.Menurut Undang-undang Dasar 1945, baik yang asli maupun hasil amandemen, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hokum (rechstaat),  menurut Jimly Asshiddiqie :

“ Dalam rangka merumuskan kembali ide–ide pokok konsepsi Negara hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga belas prinsip pokok Negara hukum (Rechstaat) yang berlaku dizaman sekarang. Ketiga belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara hukum  (The Rule of law, ataupun Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu :

1.            Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanyapembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2.            Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3.            Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau

 

 

 

mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels).Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yangdibebankan oleh peraturan yang sah.

4.            Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, andabsolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5.            Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya.Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan.Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

6.            Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiapNegara Hukum.Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak bolehdipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupunkepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidakdiperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilanoleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislativeataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7.            Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri.Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan.Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8.            Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.

9.            Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu.Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yangditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10.          Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):

Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannyaberdasar atas hukum.

11.          Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (WelfareRechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas aturan hukum.

12.          Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

13.          Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila”.

b.            Teori Keadilan.

Menurut Salim HS :

“ Masalah keadilan, bukanlah masalah yang baru dibicarakan para ahli, namun pembicaran tentang keadilan telah dimulai sejak aristoteles sampai dengan saat ini. Bahkan setiap  ahlimempunyai pandangan yang berbeda tentang esensi keadilan “.

Menurut John Stuart Mill, keadilan adalah :

“Nama bagi kelas-kelas aturan moral tertentu yang menyoroti kesejahteraan manusia lebih baik daripada dan karenanya menjadi kewajiban yang lebih absolute aturan penuntun hidup apapun yang lain. Keadilan juga merupakan konsepsi dimana kita menemukan salah satu esensinya, yaitu hak yang diberikan kepada individu-individu mengimplikasikan dan memberikan kesaksian mengenai kewajiban yang lebih mengikat.”

Ada dua hal yang menjadi fokus keadilan yang dikemukakan oleh John Stuart Mill, yaitu :

1.            Eksistensi keadilan ; dan

2.            Esensi keadilan.

Menurut John Stuart Mill, bahwa eksistensi keadilan merupakan aturan moral. Moral adalah berbicara tentang baik dan buruk. Aturan moral  ini harus difokuskan untuk kesejahteraan manusia. Sementara itu, yang menjadi esensi atau hakikat keadilan adalah merupakanhak yangdiberikan kepada individu untuk melaksanakannya.”

Menurut John Rawl, :

“  The First statement of the two principles reads as follows.First: each person is to have  an equal right to the most extensive Scheme of equal basic liberties compatible with a similar scheme of Liberties for others.

Second: Social and economic inequalities are to be arranged so thatThey are both (a) reasonably expected to be everyone’a advantage and (b) attached to position andoffices open to all.“

(Pertama: setiap orang memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang paling luas kompatibel dengan kebebasan yang sama bagi orang lain.

Kedua: kesenjangan  social dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehinggasalingmenguntungkan diantara mereka dan mendapatkan kesempatan yang sama).

Kebebasan dasar warga Negara adalah kebebasan politik untuk memilih dan mencalonkan diri, kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan hati nurani, kebebasan milik pribadi dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang.

Jabatan dan posisi harus terbuka untuk semua orang dibawah persamaan kesempatan yang adil.

Menurut Noto Negoro :

Keadilan adalah :

“ kemampuan untuk membeikan kepada diri sendiri dan orang lain apa yang semestinya, apa yang telah menjadi haknya. Hubungan antara manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan keadilan terbentuk  dalam pola yng disebut hubungan keadilan segitiga, yang meliputi keadilan distributif (distributive justice), keadilan bertaat atau (legal justice) dan keadilan komutatif justice (komutative Justice) “

c.             Teori perlindungan hukum

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah terhadap masyarakat merupakan dasar lahirnya Undang-undang Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Jelas tercantum dalam  bagian menimbang dari Undang-undang No.5 tahun 1986, dikatan dalam hurup a. bahwa Negara republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib, yang menjamin kesamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubunganyang serasi selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan  para warga masyarakat.

Dari uraian tersebut, bahwa masyarakatharus  mendapat perlindungan hukum dari kemungkinan kesewenang-wenangan pejabat tata usaha Negara.

Menurut pendapat penulis, masalah perlindungan hukum  erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia yaitu hak–hak dasar yang dipunyai oleh setiap indvidu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 199 tentang hak asasi manusia .

Hak asasi manusia adalah :

“ seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “

Esensi dalam definisi ini adalah hak yaitu hak itu wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi .

Perlindungan hukum dapat diuraikan menurut unsur-unsur katanya, kata pelindungan menurutkamus umum bahasa Indonesia berasal darikata lindung yangberari menempatkan dibalik atau dibelakang agar tidak kelihatan (WJS Purwodarminto, 1983 ; 559 ).

Menurut  Bernhard L Tanya dan kawan-kawan :

“ pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk  berakaldan berkehendak bebas, Negara bertugas menegakan hak-hak dan kebebasan warganya.  Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan Negara dan hukum.Oleh karena itu, hak-hak dasar manusia tidak boleh dilanggar oleh penguasa.Bahkan pelaksanaan hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh Negara.”

d.            Teori Ketaatan

Menurut teori teokrasi,

“ manusia wajib taat, patuh dan tunduk kepada hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan-peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang datang dari Tuhan.Kemudian ditulis dalam kitab suci. Teori teokrasi memikirkan tentang hukum  dalam kaitannya dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi azas fundamental bagi pengakuan kekuasaan hukum “.

Menurut Thomas Aquinas  sebagaimana dikutip oleh Bernard L Tanya dan kawan-kawan :

“mentaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal. Jadi perilaku hokum parallel dengan perilaku moral.Itu berarti, seluruh ketentuan hukum harus searah dengan perilaku moral. Aquinas tidak mengijinkan adanya perselingkuhan (kontradiksi) antara aturan hukum dengan norma-norma moral “

Menurut Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip E. Sumaryono, yang dikutip kembali oleh Umar Dani sebagai berikut :

“  …ada tiga macam alasan manusia mentaati hokum, yaitu :

1.            Hukuman memerintahkan sesuatu yang berguna bagi manusia.

2.            Ada ancaman sanksi hukuman jika manusia melanggar atau melawan hokum yang berlaku, dan

3.            Orang mentaati hokum karena ia wajib secara moral.”  .

Teori Keadaulatan Negara,  Menurut Sri Soemantri Martosoewigogo, dalam bukunya Soedarsono :

“Dalam teori ini ada dua istilah yang perlu dijelaskan, yakni ‘kedaulatan‘ dan ‘Negara‘ ‘kedaulatan‘ adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat Negara tertentu. Sedangkan yang disebut ‘negara’ ialah suatu organisasi yang mempunyai beraneka ragam kepentingan, manusia yang berada dalam lingkungan suatu Negara akan berusaha mencapai tujuanbaik bersamanya maupun tujuan bagi diri masing-masing .”

Menurut teori ini, adanya Negara merupakan suatu kodrat alam.Demikian pula kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemimpin Negara merupak suatu kodrat alam pula. Menurut C.S.T sebagaimana dikutip oleh Soedarsonono,

“  …Hukum itu ditaati ialah karena negaralah yang menghendakinya hukum adalah kehendak Negara dan Negara itu mempunyai kekuatan (power) yang tidak terbatas. “

Penganjur teori ini, yaitu Hans Kelsen dalam buku 

“ Reine-Rechtslehre“ mengatakan bahwa hukum adalah tidak lain daripada  ‘ kemauan Negara‘ (wille des Staates).

Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat pada hukum bukan karena Negara menghedakinya. Tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah “

2.            Kerangka Konseptual

a.            Entitas PTUN dalam Negara hukum.

Pengertian Entitas adalah

“ Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya dianggap juga sebagai suatu entitas  “

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu

“ entitas adalah satuan yang berwujud.

Sedangkan PTUN adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari pradilan terhadap sengketa tata usaha negara (pasal 4 UU No.5 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 51 tahun 2009).Dari pengertian tersebut di atas PTUN adalah sebuah entitas  dari entitas lainnya seperti peradilan umum, peradilan Agama dan peradilan lainnya. PTUN didirikan untuk melaksanakan penegakan hukum yaitu menyelesaikan persoalan-persoalan hukum antara masyarakat dan pemerintah.

Menurut Sajipto Rahardjo :

“Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum adalah adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hokum . Proses penegakan hokum menjangkau pula sampai kepada perbuatan hukum  yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum “

Mengenai istilah peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara, pasal 114 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan dengan tegas:  “Undang-undang ini dapat disebut‘ Undang-undang Peradilan Administrasi NegaraMengenai beberapa perbedaan istilah itu, dapat kita kutip pendapat Nomensen Sinamon sebagai berikut :

“pembahasan mengenai masing-masing istilah administratif recht. Administrasi diberi arti sama dengan tata usaha Negara. Istilah Hukum Tata Usaha Negara diketemukan atau digunakan antara lain ;

UUD 1950 pasal 108 dan pasal 142 ;

Konstitusi RIS 1949 pasal 161 dan pasal 192 ;

UU nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.48 tahun 2009  tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 25 (terdapat istilah pengadilan tata usaha Negara).

Hukum Tata Pemerintahan

Istilah tersebut sebagai terjemahan dari betuur recht dan pernah digunakan oleh beberapa universitas, yaitu Universitas Brawijaya, Universitas Pajajaran dan Universitas Gajah Mada.” Selanjutnya dimanakah tempat hukum Admnistrasi Negara atau Tata Usaha Negara dalam sistem hukum, menurut Nomensen Sinamo sebagai berikut :

“…sesudah abad ke -19 dimana hukum dari segi isinya yang dibedakan atas hukum public dan hukum privat, yang mana ke dalam hukum public tergabung :

1.            Hukum Tata Negara ;

2.            Hukum Administrasi Negara ;

3.            Hukum Pidana ;

4.            Hukum Publik Internasional ;

Sedang ke dalam hukum private tergabung

1.            Hukum Perdata ;

2.            Hukum Dagang;

3.            Hukum Antar Golongan / HATAH

Pada hakekatnya pentingnya penggolongan/pembedaan hukum  public dengan hukum privst  agar lebih mudah memberlakukan cabang-cabang hukum ersebut. “

Menurut Undang-undang No.5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pasal 4 menyatakan: “ Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan  terhadap sengketa tata usaha Negara “

Berdasarkan pasal 1 butir 10 undang-undang nomor 5 tahun 2009, menyebutkan bahwa :

“sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara baik dipusat maupun  daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ sedangkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (Agus Surachman - Bersambung) 

SHARE

KOMENTAR