Ini Dia, Gaya Berpacaran Jaman Baheula

2885

Pacaran merupakan salah satu upaya pra nikah. Bisa juga disebut masa penjajakan dan mencari kecocokan. Jika dirasa tidak cocok, maka tak akan berlanjut hingga ke pelaminan. Berpacaran era dulu dengan sekarang, tentu sangat jauh berbeda. Zaman dahulu, remaja yang berpacaran dijaga ketat oleh calon mertua. Sebab, ada anggapan bersalaman dengan pacar merupakan hal yang tabu.

Pada awal abad ke-19, Museum Gajah yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat mungkin menyimpan kenangan manis bagi orangtua. Sebutannya, dulu Gedung Jodoh. Setiap akhir pekan, di tempat inilah menjadi lokasi kongkow para remaja.  

Dikutip dari berbagai sumber, gaya berdandan tempo dulu pun berbeda dengan kekinian. Minyak rambut menjadi syarat wajib bagi pria. Gaya rambut idola ABG masa lalu adalah berjambul. Sementara wanita berdandan ala noni Belanda dengan baju terusan berumbai dan rambut tergulung rol.

Pacaran tempo dulu tak perlu keluar banyak uang karena sedikit sekali restoran. Kafe dan mal juga belum ada sehingga remaja mencari lokasi pacaran di depan museum Gajah atau di lapangan Gambir (sekarang Monas).

Namun untuk lebih serius meminang pujaan hati, pemuda dulu perlu perjuangan keras. Pemuda harus berani main ke rumah si gadis pujaan, kalau dulu namanya ngelancong. Peraturan jaman dulu untuk ngelancong sangat ketat, tidak seperti sekarang. Dulu, pemuda ngelancong (sekarang apel) ke rumah si gadis tidak akan bisa langsung menemui pujaan hatinya. Pria hanya boleh ditemani oleh calon mertuanya saat wakuncar.

Si gadis hanya boleh bertemu dengan calon suaminya dengan mengintip dari celah-celah jendela di sebelah dalam pintu rumah. Sementara si perjaka tetap tinggal di beranda luar sambil sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela. Jangan kaget, tempo dulu ada jejaka yang nekat memilih duduk di bawah jendela demi bisa melihat sang pujaan hati.

Memasuki tahun 1950-an di Jakarta belum banyak tempat hiburan seperti sekarang. Saat itu, penduduknya baru sekitar 1,5 juta jiwa. Bioskop, merupakan salah satu lokasi pilihan tunggal remaja era dulu berpacaran.

Saat itu, Keluarga Berencana (KB) belum kepikiran sama sekali. Para ibu punya anak 10 atau lebih tidak ada masalah. Bung Karno sendiri kurang setuju terhadap KB. Pernah dia diwawancarai Louis Fischer, penulis dan wartawan AS.

Ketika ditanya soal KB justru Bung Karno mengatakan bahwa penduduk Indonesia yang kala itu belum mencapai 100 juta jiwa dapat ditambah hingga mencapai 250 juta jiwa. Alasannya, masih banyak pulau besar di Indonesia yang dapat menampung penduduk seperti Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Sulawesi.

Meskipun tidak seagresif remaja sekarang, kala itu pacaran sudah merupakan hal biasa. Biasanya di bioskop-bioskop atau tempat hiburan. Dimulai saling menyapa kalau mendapat tanggapan akan berjalan mulus. Pacaran tempo doeloe tidak memerlukan uang banyak. Cukup membelikan karcis bioskop dan mentraktir makan. Bakso dan siomay belum muncul. Jumlah rumah makan Padang masih bisa dihitung dengan jari. Mentraktir pacar bisanya nyate atau makan soto mi.

Remaja Jakarta pada medio 1950-an tidak berani berkeliaran memakai blue jeans atau celana ketat seperti sekarang. Tidak disenangi aparat dan dianggap bukan kepribadian Indonesia, tapi Barat. Untuk memakai celana jins kita harus berani menghadapi risiko. Seringkali diadakan razia di jalanan aparat. Mereka membawa botol dan bila botol tidak masuk ke ujung celana tidak ampun lagi aparat akan memotongnya.

Bung Karno juga tidak senang terhadap rambut gondrong yang meniru grup musik The Beatles dari Inggris. Bahkan dia menyerukan agar rambut gondrong diplontos. Maka jadilah ada polisi yang merazia rambut gondrong dengan membawa gunting.

Pada 1950-an di Jakarta sudah banyak bermunculan geng-geng remaja. Seperti Taratulu dan Marabunta yang diambil dari nama film balatentara semut dalam film Hollywood. Juga di kampung-kampung para remaja membentuk geng-geng. Seperti Kwitang Boys, Sate Boys (warga Madura), dan Canary Boys.

Ada juga geng warga anak tangsi, seperti Berland di Matraman dan Geng Siliwangi di Lapangan Banteng yang kini sudah menjadi pertokoan. Seringkali geng-geng itu saling bentrok, terutama saat rebutan cewek. Pemuda Kwitang dan Kali Pasir yang dipisah Kali Ciliwung sering bentrok hanya gara-gara soal kecil.

Perkelahian antarsekolah, apalagi antarperguruan tinggi, belum terjadi kala itu. Juga model tawuran dengan saling melemparkan batu dan memakai benda tajam belum ada. Main kerubutan dianggap tidak kesatria ketika itu. Istilah preman dari kata Belandsa vrijman juga belum dikenal waktu itu. (Dikutip dari sejumlah sumber/nesto)

SHARE

KOMENTAR