Ende, Tempat Bung Karno Rajut Pancasila

1627
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende

Ende merupakan kota kecil di lereng bukit Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Di kota ini, disinyalir Bung Karno merajut Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia. Sebab, ada banyak literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende. Buah perenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu.

Dilansir dari fin.co.id, selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Soekarno yang lain.

“Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Jurnalis asal Amerika Serikat ini, merupakan orang pertama dan bisa dibilang satu-satunya wartawati yang berhasil mewawancarai seorang Soekarno dengan sangat detail. Tak hanya soal kenegaraan dan juga tetek bengeknya, tetapi juga nyerempet-nyerempet ke masalah pribadi Bapak Bangsa ini.

Pada masa jayanya, Bung Karno adalah sosok yang membuat para jurnalis geregetan ingin menulis riwayat hidupnya, namun tak ada satu pun jurnalis yang diizinkan untuk mewawancarainya. Hanya Cindy Adams yang mampu memikat hati Sang Putra Fajar.

Tak ada alasan khusus kenapa Soekarno bisa dengan lempengnya mengizinkan jurnalis asal Amerika Serikat itu untuk mewawancarainya ketika orang lain begitu susah. Bung Karno hanya mengatakan, “Cindy adalah sosok yang baik dan tulisannya sangat jujur”.

Cindy tidak menduga jika ia bisa dengan gampangnya meminta secara langsung untuk mewawancarai sosok Bapak Bangsa, Soekarno dan bahkan Bung Karno sendiri tak terkesan menolak atau ogah untuk diwawancara.

Cindy mengawali wawancara dengan pertanyaan yang sangat ringan dan menyenangkan. Bahkan sampai bikin Bung Karno tersipu. “Kenapa Anda mengenakan peci? Apakah agar terlihat lebih tampan?”. Begitu tanya Cindy.

Sambil sedikit tersenyum lalu tertawa, Soekarno mengatakan, “Ya, Anda benar. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?,” kata Soekarno kepada Cindy waktu itu.

Cindy butuh waktu selama sekitar tiga tahun untuk proses penulisan buku tersebut. Ketika proses akhir hendak rampung, Bung Karno malah melarangnya untuk mencetaknya.

Alasan Bung Karno melarang Cindy untuk mencetak buku tersebut sebenarnya sangat simpel, karena Cindy hanya menulis Soekarno dari sudut pandang orang pertama, seolah-olah Soekarno sedang menuturkan ceritanya lewat buku itu.

Namun, Sang Putra Fajar akhirnya menandatangani persetujuan kepada Cindy untuk mencetak buku berjudul “Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams”.

Cindy pernah menanyakan sebuah pertanyaan penting kepada Bung Karno, “Apa pesan Anda kepada rakyat Indonesia?” Soekarno pun menjawab dengan jawaban yang sangat patriotik dan menggugah semangat kebangsaan.

“Menjadi negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang,” kata Bung Karno.

Cindy kemudian melukiskan jawaban Bung Karno itu adalah salah satu hal termanis yang pernah didapatkannya selama melakukan pekerjaan tersebut.

Asas Ketuhanan Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.

“Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala”.

“Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan”.

“Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu”.

Cindy Adams menulis bahwa Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.

Soerkano pun berkeluh kesah, “Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik”.

Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut”.

“Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep “pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan”.

Keragaman budaya, ras dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.

Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.

Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepakan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.

Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.

Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.

Maka, Hari Lahir Pancasila yang akan dirayakan di Ende pada 1 Juni 2018, memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Soekarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan.(sumber : fin.co.id/nesto)

SHARE

KOMENTAR