Catatan Pena Bang Rinto : Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat

672
Vayireh Sitohang

Setiap tahunnya, pada 24 September dirayakan sebagai Hari Tani Nasional. Momen tersebut untuk memperingati perjuangan kaum tani untuk mendapatkan hak-haknya atas tanah pertanian mereka. Adalah Vayireh Sitohang, menuangkan tulisannya terkait Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat. Berikut soal Reforma Agraria menurut aktivis yang juga politisi pengidola artis lawas, Rinto Harahap, yang akrab dipanggil Bang Rinto.               

Hakekat makhluk hidup adalah bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan. Makanan adalah syarat pokok kebutuhan makhluk hidup untuk bertahan hidup. Makhluk hidup akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh makanan sesuai dengan nalar dan naluri yang berkembang dari kebiasaan / praktek hidup sehari-harinya. Cara bertahan hidup akan menentukan cara makhluk hidup melangsung kehidupan. Tiap-tiap makhluk hidup akan membangun atau membentuk dinamika kehidupan dengan berbagai aktifitas atau pekerjaan agar tidak punah karena serangan dari dalam maupun dari luar lingkungan, termasuk mempertahankan proses regenerasi (berkembang biak). Kelangsungan kehidupan dari makhluk hidup ini akan sesuai dengan nalar, naluri dan nurani yang dimiliki oleh tiap-tiap makluk hidup untuk menghadapi dari kepunahannya.

Lahan, teknologi dan modal adalah alat – alat produksi yang menentukan cara berproduksi manusia dalam mencari dan mengolah makanannya. Barangsiapa yang menguasai lahan, teknologi dan modal, maka dia yang menguasai sumber makanan. Barangsiapa yang menguasai sumber makanan, maka dia yang menguasai sistem ekonomi. Barangsiapa yang menguasai sistem ekonomi, maka dia yang menguasai sistem politik. Barangsiapa yang menguasai sistem politik, maka dia yang menguasai pemerintahan. Barangsiapa yang menguasai pemerintahan, maka dia yang menguasai dan memamfaatkan alat – alat negara sesuai dengan kepentingan dan kehendaknya.

Penguasaan alat produksi yang tidak terkendali menciptakan terbentuk kelompok si-miskin dan si-kaya, si-penguasa dan si-terkuasa, si-majikan dan si-pekerja, si-penindas dan si-tertindas, dan atau terbangun klas atau kelompok berdasarkan nasib dan tanggungan bersama.

Dalam rangka melanggengkan ambisi dan mempertahankan yang sudah dimiliki, maka si penguasa alat produksi membangun dan memperkuat jejaring atau ikatan dengan menggunakan berbagai sentimen yang bersifat ikatan batin dan cara berpikir, misalnya ideologi (cara berpikir), keyakinan (agama–kepercayaan) dan tradisi budaya (suku–ras). Para penguasa alat produksi sengaja mengkondisikan rakyat atau akar rumput sibuk berkonflik dengan membalutnya menjadi konflik antar agama, antar suku, antar ras, dan sebagainya. Sehingga rakyat kecil atau akar rumput yang sebenarnya korban dari sistem yang tidak berpihak kepada mereka tidak bersatu untuk memperbaiki nasib atau menuntut sistem yang lebih berpihak kepada lapisan dan golongannya.

Ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan wilayah (tanah, air, udara dan isinya), menyebabkan kesenjangan pendapatan dan kemakmuran. Semakin banyak rakyat tidak memiliki lahan mencari nafkah dan tempat tinggal, maka rakyat semakin tergantung pada pekerjaan yang diberikan pemodal/pengusaha dan pada tempat tinggal yang disewakan pemilik kontrakan. Apabila pemodal/pengusaha ingin memperoleh keuntungan yang besar, maka pekerja harus digaji murah atau hasil produksi dijual lebih mahal. Apabila pemilik kontrakan ingin memperoleh keuntungan yang besar, maka penghuni kontrakan harus bayar lebih tinggi. Disaat upah rendah, harga barang dan jasa mahal, maka rakyat pekerja akan melarat dan dikondisikan “hidup segan, mati tak mau”, agar pesaing baru para pemilik modal tidak muncul, tidak berdaya memproduksi kebutuhan sendiri, dan tenaga kerja murah selalu tersedia.

Oleh sebab itu, Perlu ditata ulang penguasaan dan pengelolaan wilayah Indonesia. Tanah dan Perairan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD’45. Penataan ulang penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan wilayah bagi kemakmuran rakyat Indonesia, yang disebut dengan istilah Reforma Agraria (Pembaruan Agraria) mutlak diwujudkan, agar sistem ekonomi rakyat kecil berkembang dan memakmurkan seluruh rakyat.

Secara etimologis, istilah Agraria berasal dari bahasa latin yaitu “ager” yang diartikan sebagai lapangan, pedusunan, sebidang tanah, dan wilayah. Dapat ditafsirkan bahwa agraria bukanlah sekedar tanah saja, tapi meliputi bumi (yang ada di permukaan dan di dalam bumi), air, dan kekayaan alam yang ada, hal ini menunjukkan bahwa agraria memiliki arti yang luas sebagai teritori. Dari berbagai rujukan dan pengalaman praktek, disimpulkan bahwa Reforma Agraria terdiri dari dua suku kata yang memiliki pengertian: “ suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur penguasaan, susunan kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber ekonomi  yang timpang meliputi tanah, air, tambang, benih, permodalan, teknologi, sumber daya manusia dan pasar (reforma agraria = land reform plus faktor penunjang). (Gunawan Wiradi, 2008)

Reforma Agraria harus didahului dengan menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah, yang sering disebut dengan istilah Land Reform. Tujuan dari menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah adalah agar setiap keluarga memiliki tanah tempat tinggal, tempat mencari nafkah (berdagang, berkebun, beternak, dan sebagainya), dan jaminan tidak terjadi pengakumulasian tanah rakyat menjadi alat penghisap (komersialisasi tanah), tetapi tanah haruslah berfungsi sosial.

Reforma Agraria sudah berusia lebih dari 2500 tahun. Landreform pertama di dunia dilakukan Solon, Raja Yunani Kuno pada tahun 594 SM (UU-nya disebut seisachtheia), namun gagal direalisasikan. Pisistratus (pengganti Solon) berhasil merealisasikannya dengan slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap) pada tahun 565 SM. Republik Romawi mengeluarkan UU Agraria yang disebut Leges Agrariae pada tahun 489 SM. 25 tahun kemudian dikeluarkan UU kedua yang mengatur bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh tanah 125 Ha, namun Landreform baru berhasil dijalankan pada tahun 234 SM. Gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris selama ± 5 abad. Awal berdiri Amerika Serikat melakukan landreform dan para bekas budak yang dimerdekakan berhak memperoleh tanah garapan yang dijamin Negara. Sejak Revolusi Perancis (1789-1799) hampir semua negara di Eropa melakukan landreform. Setelah Perang Dunia Kedua, Reforma Agraria dilakukan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan bantuan Militer, Pegawai Negeri, dan dukungan Rakyat, Shah Iran mereform lahan-lahan golongan bangsawan dan yang dikuasai oleh Tuan-tuan tanah di pedesaan.

Tonggak sejarah Reforma Agraria Indonesia dimulai pada tahun 1960, setelah UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 disahkan Parlemen hasil Pemilu tahun 1955. Kemudian sebagai aturan pelaksanaan Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti (Prp) UU No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (dikenal sebagai UU Landreform) dan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Penyusunan. UUPA dirancang sejak tahun 1958 untuk menggantikan UU Kolonial Belanda yang disebut Agrarische Wet tahun 1870. Dalam rangka menghasilkan UU Peraturan Dasar Pokok Agraria, lima kali panitia dibentuk, mulai dari Panitia Jogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Panitia Sunaryo (1957) dan terakhir Panitia Sudjarwo pada tahun 1959 yang bekerjasama dengan Panitia Ad Hoc DPR dan Tim UGM berhasil merumuskan naskah dasar dari Departemen Agraria. Selanjutnya diajukan ke DPR pada tanggal 1 Agustus 1960.

Bung Karno mengatakan bahwa landreform adalah alat revolusi untuk menghancurkan feodalisme dan kapitalisme dalam tahap revolusi nasional demokratis. Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, yang berjudul Jalannya Revolusi Kita (JAREK), menyatakan bahwa : “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.”

Seseorang atau sekelompok orang dibatasi luas maksimum menguasai tanah, digarap sendiri, dan tinggal didaerah setempat. Tanah yang tidak digarap sendiri dalam batas waktu tertentu, akan diambil alih Negara, dan diredistribusi melalui lembaga-lembaga yang dipercaya rakyat dan negara, agar menjamin keadilan dalam penguasaan dan pemamfaatan tanah. Tanah diredistribusi adalah tanah yang melebihi batas maksimum, tanah guntai, tanah yang tidak digarap pemiliknya / telantar, tanah negara, tanah tak bertuan, dan sebagainya. Tanah – tanah yang dinyatakan sebagai objek reform tersebut, diklasifikasi menurut peruntukan atau penggunaannya. Tanah untuk pemukiman, perkantoran, jalan, rumah sakit, pendidikan, pasar, dan tanah untuk berladang / sawah, berkebun, beternak, dan sebagainya. Tanah – tanah objek reform diidentifikasi dan diatur peruntukan sesuai dengan jumlah keluarga yang membutuhkan agar ditemukan batas minimum dan maksimum penguasaan lahan di wilayah setempat.

.Apabila kredit permodalan dan teknologi dari luar didatangkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas, maka wajib dikendalikan agar tidak mempengaruhi kebijakan yang dapat menghancurkan ekonomi rakyat, tidak memberatkan pelunasan, dan sebagainya. Termasuk pula investasi dari luar yang dikelola diwilayah tersebut, haruslah mengikuti aturan main penguasaan dan pengelolaan lahan setempat. (*)

SHARE

KOMENTAR